Oleh: Aris Felani, S.Sos
Sekretaris LPBINU Kab. Pasuruan
Nahdlatul Ulama (NU) adalah raksasa dengan sumber daya kemanusiaan yang nyaris tak terbatas. Setiap kali bencana melanda negeri, terlihat pemandangan yang heroik sekaligus ironis: ribuan relawan dari berbagai Banom (Badan Otonom) dan Lembaga NU turun ke lapangan dengan semangat jihad kemanusiaan yang luar biasa. Namun, di balik heroisme itu, sebuah persoalan klasik kembali muncul ke permukaan—lemahnya koordinasi satu pintu yang mampu mengintegrasikan kepentingan lembaga dan kekuatan dana besar di internal organisasi.
Fragmentasi Kekuatan di Lapangan
Sudah kesekian kalinya, pola penanganan darurat bencana yang dilakukan oleh NU seolah terjebak dalam ego sektoral. Kita melihat LPBI NU, LAZISNU, Banser Tanggap Bencana (Bagana), Pagar Nusa, hingga Fatayat dan IPNU-IPPNU bergerak masif, namun seringkali berjalan sendiri-sendiri.
Masalah utamanya bukan pada ketiadaan niat baik, melainkan pada orkestrasi. Tanpa koordinasi yang ketat, terjadi tumpang tindih (overlap) peran di satu titik pengungsian, sementara di titik lain bantuan justru tidak tersentuh. Dana besar yang berhasil dihimpun oleh masing-masing sayap organisasi seringkali dikelola tanpa sinkronisasi data tunggal, yang mengakibatkan efektivitas bantuan menjadi tidak maksimal.
Tantangan Transparansi dan Akuntabilitas Kolektif
Dalam era manajemen modern, niat tulus saja tidak cukup. Pengelolaan dana besar dalam skala darurat bencana menuntut adanya sistem informasi yang terintegrasi. Ketika setiap lembaga menonjolkan "bendera" masing-masing dalam penyaluran bantuan, muncul risiko inefisiensi anggaran.
Fragmentasi ini juga menyulitkan NU untuk melakukan bargaining atau koordinasi strategis dengan pemerintah (BNPB/BPBD) maupun lembaga internasional. Dunia luar ingin melihat NU sebagai satu entitas yang solid, bukan sekumpulan unit yang bergerak tanpa komando pusat yang jelas.
Langkah Strategis: Transformasi Manajemen Bencana
Untuk memutus pola lama ini, NU perlu melakukan langkah-langkah transformatif:
Pusat Komando Terpadu: Memperkuat mandat lembaga yang berwenang (seperti LPBI NU) sebagai satu-satunya dirigen dalam penanganan darurat, di mana Banom lain mem-fungsikan diri sebagai subsistem di bawah satu komando.
Satu Pintu Pendanaan (Single Funding System): Perlu ada mekanisme sinkronisasi pelaporan dana bencana yang transparan di tingkat PBNU, sehingga alokasi dana besar bisa didistribusikan berdasarkan pemetaan kebutuhan nyata di lapangan, bukan berdasarkan kedekatan akses.
Protokol Tetap (Protap) Lintas Banom: Menyusun panduan yang disepakati bersama tentang siapa melakukan apa (Who does What) agar tidak ada lagi perebutan peran di lokasi bencana.
Penutup
Bencana tidak bisa menunggu kita selesai berkoordinasi. Jika NU gagal mengintegrasikan kekuatan lembaga dan dana besarnya dalam satu manajemen yang profesional, maka potensi besar kita hanya akan menjadi deretan aksi sporadis yang kehilangan daya ledak manfaatnya.
Sudah saatnya NU beranjak dari sekadar "kerumunan relawan" menjadi "organisasi kemanusiaan yang terstruktur". Perubahan ini mutlak diperlukan agar keberkahan NU benar-benar dirasakan secara merata oleh para korban bencana, tanpa terhambat oleh sekat-sekat birokrasi internal.




